Rabu, 27 November 2013

Latar Belakang dan Adat Istiadat Kalimantan Tengah

Dalam arti luas Pulau Kalimantan meliputi seluruh pulau yang juga disebut dengan Borneo dalam wilayah indonesia. Asal mula Suku Dayak di Kalimantan adalah migrasi bangsa Cina dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan pada 3000-1500 SM (Sebelum Masehi). Sebelum datang ke wilayah Indonesia, mereka mengembara terlebih dahulu ke Tumasik dan semenanjung Melayu.
          Adapun latar belakang dan adat istiadat dari suku dayak Kalimantan Tengah yaitu:
1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi suku Dayak sangatlah sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya ( sandung ), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya ( Sandung ).
2. Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak Pulau  Kalimantan memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Asal para pembaca tahu saja karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ) . Tetapi walaupun begitu suku Dayak bukanlah seperti itu, sebenarnya suku Dayak cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena.
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya. Contohnya, Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa pangkalima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak pangkalima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang pangkalima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber Tariu ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti pangkalimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah sebenarnya mangkok biasa saja terbuat dari tanah liat. Hanya di dalamnya tersimpan barang-barang yang penuh makna dan magis.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak pulau kalimantan itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).


3. Ritual Nahunan

Merupakan upacara khas suku Dayak Kalimantan yakni upacara memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan suku Dayak Kalimantan Tengah. Maksud utama dari pelaksanaan Nahunan adalah prosesi pemberian nama sekaligus pembaptisan menurut Agama Kaharingan(agama orang dayak asli dari leluhur) kepada anak yang telah lahir.



Upacara Nahunan sendiri berasal dari kata "Nahun" yang berarti Tahun. Dengan demikian, ritual ini umumnya digelar bagi bayi yang telah berusia setahun atau lebih. Prosesi pemberian nama dianggap oleh masyarakat Dayak sebagai sebuah prosesi yang merupakan hal sakral, karena alasan tersebut digelarlah upacara ritual Nahunan.

Hasil pilihan nama anak tersebut lantas dikukuhkan menjadi nama aslinya. Selain sebagai sarana pemberian nama kepada anak, Nahunan juga dimaksudkan sebagai upacara membayar jasa bagi bidan yang membantu proses persalinan hingga si anak dapat lahir dalam keadaan selamat.

Upacara Ritual Nahunan merupakan salah satu diantara "Lima Ritual Besar Suku Dayak Kalteng" selain beberapa ritual lainnya seperti Upacara Ritual Dayak Pakanan Batu dan Upacara Adat Dayak Manyanggar.

Masyarakat Dayak khususnya Dayak di Pedalaman, hingga kini masih tetap setia melestarikan asset budaya ini sebagai kekayaan khasanah budaya bangsa Indonesia, selain untuk menghargai warisan leluhur, Suku Dayak meyakini jika keseimbangan antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta merupakan suatu hubungan sinergis yang harus senantiasa tetap terjaga.

4. Upacara Adat Dayak Manyanggar.

Istilah Manyanggar berasal dari kata "Sangga". Artinya adalah batasan atau rambu-rambu. Upacara Manyanggar Suku Dayak kemudian diartikan sebagai ritual yang dilakukan oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaib yang tidak terlihat secara kasat mata.



Ritual Dayak bernama Manyanggar ini ditradisikan oleh masyarakat Dayak karena mereka percaya bahwa dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus. Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas dengan roh halus tersebut diharapkan agar keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai ungkapan penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual Manyanggar biasanya digelar saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian,mendirikan bangunan untuk tempat tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.

Melalui Upacara Ritual Manyanggar, apabila lokasi yang akan digunakan oleh manusia dihuni oleh makhluk halus (gaib) supaya bisa berpindah ke tempat lain secara damai sehingga tidak mengganggu manusia nantinya.

5.Upacara Ritual Dayak Pananan Batu

Adalah ritual tradisional yang digelar setelah panen ladang atau sawah. Upacara Suku Dayak bernama Pakanan Batu ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan terimakasih kepada peralatan yang dipakai saat bercocok tanam sejak membersihkan lahan hingga menuai hasil panen.

Benda atau barang dituakan dalam ritual dayak ini adalah batu. Benda ini dianggap sebagai sumber energi, yaitu menajamkan alat-alat yang digunakan untuk becocok tanam. Misalnya untuk mengasah parang, balayung, kapak, ani-ani atau benda dari besi lainnya.

Selain memberikan kelancaran pekerjaan, bagi para pemakai peralatan bercocok tanam danberladang, batu dianggap pula telah memberikan perlindungan bagi si pengguna peralatan sehingga tidak luka atau mengalami musibah saat membuka lahan untuk becocok tanam.


Rabu, 20 November 2013

Alat Musik Kalimantan Tengah

Alat-alat musik tradisional yang berasal dari Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut :
  1. Garantung
  2. Salung
  3. Gandang
  4. Katambung
  5. Kecapi
  6. Guriding
  7. Suling Bahalang
  8. Suling Balawung
  9. Kangkanong Humbang
Mungkin kalau tidak dijelaskan anda akan bingung seperti apa alat-alat musik yang saya sebut di atas. Di bawah inilah penjelasan singkatnya.

Penjelasan Singkat Tentang Alat Musik Kalimantan Tengah

Garantung
Garantung ini adalah alat musik tradisional sejenis Gong. Alat musik inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Kalimantan Tengah khususnya Suku Dayak. Ada juga yang menyebut alat musik ini dengan sebutan Agung.
Salung
Salung adalah alat musik tradisional asal Kalimantan Barat yang merupakan alat musik jenis pukul yang terbuat dari bambu atau kayu. Nada yang dihasilkan alat musik salung ini adalah nada do, re, mi, sol, dan la.
Gandang
Gandang adalah alat musik gendang. Gendang yang satu ini adalah gendang yang ukurannya besar. Bahkan panjangnya bisa mencapai 1 sampai 2 meter dengan diamater sekitar 40 cm. Biasanya alat musik jenis ini digunakan untuk upacara-upacara adat di Kalimantan Tengah.
Katambung
Alat musik Katambung ini adalah sejenis perkusi gendang yang memiliki panjang hingga 75 cm. Alat musik ini dibuat dari kayu ulin kemudian ada balutan kulit ikan buntal yang dikeringkan untuk diregangkan di bagian sisinya sebagai bagian yang nantinya dipukul dalam memainkannya. Diamater kulit ikan buntal yang dikeringkan kemudian dijadikan bagian dari Katambung ini biasanya berukuran hingga 10 cm.
Kecapi
Siapa sih yang tidak kenal dengan alat musik yang satu ini? Kecapi merupakan alat musik jenis petik yang dibuat berasal dari kayu ringan. Senarnya ada yang dua ada juga yang tiga.
Guriding
Alat musik tradisional Kalimantan Tengah yang satu ini lebih unik dari yang lain. Karena alat musik yang satu ini terbuat dari sejenis tumbuhan hutan yang biasa disebut suku dayak berasal pelepah tua Pohon Joko. Ditengahnya seakan-akan terdapat lidah dan ujungnya dibuat runcing sehingga berbunyi ketika dipukul
Suling Bahalang
Suling ini jenis suling seperti pada umumnya. Terbuat dari bambu dan memiliki tujuh lubang.
Suling Balawung
Dilihat dari ukurannya, suling balawung ini termasuk kategori suling kecil. Terdapat lima lubang di bagian bawahnya dan terdapat satu lubang saja di atasnya.
Kangkanong Humbang
Alat musik ini sejenis alat musik yang dibuat dari bambu yang dirakit dari beberapa batang bambu kemudian dipukul sehingga menghasilkan bunyi.

cerita derah kalimantan tengah

Asal Mula Danau Malawen (Kalteng)


Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beragam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua.
“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi.
Wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma… maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
Demikian cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua. Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat merupakan sifat tercela.

Lagu-lagu daerah kalteng



Nansarunai
U tutu mama
Tawari wanga
Ware takam ngitung
Tumpuk asal takam

Daya inun ngulah
Takam puang ngitung
Tumpuk palanungkai
Ati pasai darai

U nansarunai
Udeu nansarunai
U nansarunai
Ati pasai darai


Tumpi Wayu
Tumpi wayu
Lapat wayu
Palit ira tangkuraran
Tulak hanyu
Muneng aku
Kala wunrung
Balu bayan


Pukul Gandang Garantung
Pukul gandang garantung
Hayak dengan kangkanung
Sambil tuntang gantau
Miar mundur dan maju

Bahalai dan selendang
Imeteng intu kahang
Ngaliling sangkai lunuk
I pendeng intu bentuk

Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .

Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .

Bakas tuntang tabela
Keleh itah mahaga
Kesenian daerah
Ayun tatu hiang itah

Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .

Ayo manari manasai . . .
Manari manasai . . .
Ela atun je melai . . .


ISEN MULANG
A.B. Sandan

Mamut menteng ureh utusku
Isen mulang je te penyangku
Gatang yoh gatang sewut sarita
Tandak ain tatu te

O pahari kawan balinga
Mina mama bakas tabela
Tanjung miar himbing lenge
Miar toh itah handiai

Lahap toh lahap wei
Ayo lahap lahap
Miar maju wei

Lahap toh lahap wei
Isen Mulang
Yoh akan penyangku



LEWUNGKU UTUSKU
A.B. Sandan

Jaka aku toh tau tarawang
Tarawang kilau burung tingang
Kalute angat je kanahuang
Manalih eka je ingenang

Kanih puna lewungku
Hon hete eka kulangku
Kanih eka utusku
Je paham inyayangku


KA DANAU
J.A. Sandan

Kakare pahari handiai
Has umba mambesei akan danau
Mambesei manalih panatau
Panatau ain utusku

Manalih danau ngaju lewu
Mahapan rangkan je puna laju
Buli andau tulak hanjewu
Manenan rengge buwu

Besei abas yoh
Besei ka danau
Hayak manyanyi
Handiai

Besei abas yoh
Besei ka danau
Mite kahalap
Danau te


MALAUK MANJALA
A.B. Sandan

Mambesei ayo mambesei
Mambesei akan danau
Mambesei ayo mambesei
Mambesei akan danau

Manjala
Lauk injala
Lalaya
Andau sasanja

Buli huma mimbit keba
Basuang pantik saluang
Sukup simpan
Dinu malauk manjala

cerita dari suku dayak

BAWI KUWU TUMBANG RAKUMPIT

konon sekitar abad ke-18, di sebuah kampung sekitarpertengahan aliran Sungai Rungan tepatnya di Kelurahan Mungku Baru Kecamatan Rakumpit,
tinggallah Bawi Kuwu dan kedua orangtuannya.
Ketika beranjak dewasa wanita cantik itu
dilarang orangtuannya untuk keluar rumah dan
lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam
kamar dengan dikawal dayang-dayang yang setia
mengawal dan menjaga hingga bertahun-tahun
lamanya.
Pada suatu ketika, kedua orangtua Bawi Kuwu
ingin pergi keladang lalu berpesan kepada
dayang-dayang untuk menjaga anak
kesanyangan mereka itu di dalam rumah. tidak
lama setelah kedua orangtuannya itu pergi, tiba-
tiba Bawi Kuwu merasakan kepanasan dan ingin
madi di Sungai Rungan yang letaknya tidak jauh
dari rumah mereka, tentu para dayang yang
mengawal Bawi Kuwu melarangnya untuk keluar
rumah, apalagi untuk pergi sendiri ke sungai.
Lalu dayang-dayang itu mengambilkan air
kesuangai Rungan untuk memandikan Bawi
Kuwu di dalam rumah, tetapi keinginan dari
para dayang itu ditolaknya dan tetap bersikeras
untuk pergi sendiri kesuangai itu. Suasana
hampir tidak terkendali tetapi akhirnya para
dayang berhasil mencegah keinginan Bawi Kuwu
tersebut.
Selang beberapa lama kemudian, rupanya
perlakuan dari para dayang itu malah membuat
Bawi Kuwu merasa penasaran. Setelah melihat
situasi aman dan lepas dari pengawalan, Bawi
Kuwu pergi ke Sungai Rungan dengan diam-diam
tanpa ada yang tahu.
Sesampainya di tepi sungai, tepatnya diatas
Lanting (rakit dari kayu dalam bahasa suku
dayak) kejadian naas menimpa gadis cantik itu.
Tiba-tiba buaya besar muncul ke permukaan air
dan menyambar Bawi Kuwu yang belum sempat
mandi di sungai itu, lalu membawannya ke
sarangnya di dalam sungai. Sementara itu situasi
di dalam rumah geger setelah para dayang
menyadari bahwa Bawi Kuwu tidak ada didalam
kamar.
Kemarahan besar muncul dari kedua orangtua
Bawi Kuwu kepada dayang-dayang, karena telah
lalai sehingga mereka tidak mengetahui kemana
perginya anak kesayangan mereka itu. Lalu hari
itu juga mereka memanggil para tokoh adat dan
orang-orang yang memiliki kesaktian dari suku
dayak.
Tiga hari tiga malam lamanya, mereka
mengadakan ritual dalam suku dayak untuk
mencari Bawi kuwu, dan pada suatu malam,
saudara laki-laki dari Bawi Kuwu bermimpi
bertemu dengan Patahu (orang gaib suku dayak)
dan memberikan petunjuk bahwa Bawi Kuwu
masih hidup dan sekarang berada didalam perut
buaya yang telah membawannya itu. Orang gaib
itu juga berpesa apabila buaya itu muncul,
jangan sekali-kali membunuhnya. Lalu
saudarnya itu terbangun dari tidur dan
menceritakan tentang mimpinya itu.
Ketika itu juga mereka mencari Pangareran
(Pawang buaya dalam bahasa suku dayak), dan
tepat pada hari ketiga dalam ritual itu, buaya
yang membawa Bawi Kuwu muncul dari Sungai
Rungan lalu bergerak menuju daratan. Setelah
melihat buaya besar itu datang, tiba-tiba rasa
sedih bercampur amarah muncul dari saudara
laki-laki Bawi Kuwu. Mungkin karena begitu
menyayangi adiknya membuatnya kalap dan lupa
akan pesan orang gaib yang menjumpainya
didalam mimpi, lalu ia menombak buaya itu
sehingga akhirnya mati.
Setelah melihat kejadian itu, mereka langsung
membelah perut buaya dengan peralatan
seadanya dan mendapati Bawi Kuwu yang juga
sudah tidak bernyawa lagi, mati bersama-sama
dengan buaya itu. Akhirnya suasana duka
menyelimuti seluruh kerabat dan semua yang
menyaksikan peristiwa itu.

MAKANAN-MAKANAN KHAS DAYAK KALIMANTAN TENGAH


Indonesia adalah negara yang memilki keanekaragaman suku bangsa dan bahasa. apalagi makanan khas yang dimilki antara satu daerah lain. Karena saya asli orang Dayak dari Kalimantan Tengah saya akan mencoba mengulas apa saja makanan-makanan khas yang ada di Kalimantan Tengah.
                                                             
1.  Juhu Singkah
                                               

Umbut Rotan (rotan muda) adalah salah satu makanan khas yang dimiliki oleh Suku Dayak, terutama dari Kalimantan Tengah. Dalam bahasa Dayak Maanyan, umbut rotan dikenal dengan uwut nang'e. Sedangkan dalam bahasa Dayak Ngaju dikenal dengan juhu singkah. Umbut rotan ini dikenal masyarakat dayak karena mudah diperoleh didalam hutan tanpa perlu menanamnya terlebih dahulu. Cara pengolahannya yaitu pertama rotan muda dibersihkan kemudian kulitnya dibuang dan dipotong dalam ukuran kecil. Umbut rotan seringkali dimasak bersama dengan ikan baung dan terong asam. Umbut Rotan memiliki rasa gurih, asam, dan kepahit-pahitan yang bercampur dengan rasa manis dari daging ikan sehingga membuat umbut rotan memiliki citarasa tersendiri.

2.  Kalumpe / Karuang
                                         
Kalumpe / karuang adalah sayuran yang dibuat dari daun singkong yang ditumbuk halus. Kalumpe merupakan bahasa Dayak Maanyan dan karuang sebutan sayur ini dalam bahasa Dayak Ngaju. Dalam pembuatannya, biasanya daun singkong ditumbuk halus dan dicampur dengan terong kecil atau terong pipit. bumbu untuk masakan ini adalah bawang merah, bawang putih, serai dan lengkuas yang dihaluskan. Apabila ingin bisa ditambahkan cabe. Kalumpe terasa sangat enak apabila sedang panas. Masakan ini biasa disajikan bersama dengan sambal terasi yang pedas dan ikan asin.


3. Wadi
                                         
Wadi adalah makanan berbahan dasar ikan atau menggunakan daging babi. Wadi bisa dibilang adalah makanan yang "dibusukan". Namun pembusukan ini tidak dibiarkan begitu saja, sebelum disimpan, ikan atau daging akan dilmuri dengan bumbu yang terbuat dari beras ketan putih atau bisa juga biji jagung yang di-sangrai sampai kecoklatan kemudian di tumbuk manual atau di blender. Dalam bahasa Dayak Maanyan bumbu ini disebut dengan Sa'mu dan dalam bahasa Dayak Ngaju disebut dengan Kenta. Pembuatannya yaitu ikan atau daging yang hendak diolah dibersihkan terlebih dahulu, kemudian direndam selama 5-10 jam dalam air garam. Kemudian daging atau ikan diangkat dan dibiarkan mengering. Setelah cukup kering ikan atau daging dicampur dengan Sa'mu sampai merata. Kemudian daging disimpan dalam kotak kaca, stoples, atau plastik kedap udara yang ditutup rapat-rapat. Simpan kurang lebih selama 3-5 hari. Untuk daging disarankan simpan lebih dari 1 minggu. Setelah selesao, wadi tidak bisa langsung dimakan tapi harus diolah kembali antara lain dengan cara digoreng atau dimasak. Walau pembuatannya terlihat mudah, tetapi apabila terjadi kesalahan sedikit saja dalam memasukan bumbu serta perendaman maka akan membuat wadi menjadi tidak enak bahkan tidak bisa dimakan. Oleh karena itu ada orang-orang tertentu yang memilki keahlian untuk membuat wadi yang enak.

4. Bangamat / Paing
                                          
Bangamat dalam bahasa Dayak Ngaju atau paing dalam bahasa Dayak Maanyan adalah masakan khas yang dibuat dari kelelawar besar / kalong (Pteropus vampyrus). Untuk konsumsi, kelelawar dengan jenis pemakan buah terbesar. Untuk kelelawar jenis pemakan serangga dan penghisap darah tidak digunakan dan tidak dikonsumsi untuk membuat makanan ini. Walaupun paing dikenal dan dikonsumsi di beberapa daerah, tetapi orang Dayak mempunyai ciri khas dalam pembuatannya. Paing yang akan dimasak dibersihkan dengan membuang kuku, bulu kasar ditekuk dan punggung, serta ususnya. Sementara sayap, bulu dan dagingnya dimasak. Untuk orang Dayak Ngaju paing dimasak dengan bumbu yang lebih banyak. Sedangkan untuk Dayak Maanyan, paing dimasak dengan bumbu yaitu serai dan daun pikauk (daun yang memiliki rasa asam). Paing sering dimasak bersama sayur hati batang pisang yang dipotong-potong, biasanya adalah pisang kipas. Serta juga bisa dimasak bersama dengan sulur keladi yang dipotong-potong.