Asal Mula Danau Malawen (Kalteng)
Danau
Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara,
Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan
masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beragam jenis
anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya
hidup berbagai jenis ikan. Namun karena terjadi peristiwa yang
mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang
menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti
dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
Alkisah,
di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup
sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka
senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka
berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang
suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati
belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap
malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian
tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada
suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi
beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang
lelaki tua.
“Jika kalian
menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk
bertapa,” ujar lelaki tua dalam mimpinya itu.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki tua itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.
Keesokan
harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun
pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari
berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi.
Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada
hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan
lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah,
seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka.
“Hentikanlah
pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian
akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.
Mendengar
seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan
mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke
belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu.
Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap usaha
mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
“Wah, itu pertanda baik, Istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami.
Sejak
saat itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan
makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin
yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.
Waktu
terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada
suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang
kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya
sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka
idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan
Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika
Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk,
mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang
berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan
ke mana pun pergi.
Wahai anak dengarlah petuah,
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana badan berlabuh,
di sana adat dipatuh
apalah adat orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain
itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap
hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan
sumpit.
Seiring berjalannya waktu,
Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan.
Namun, harapan kedua orangtuanya agar ia menjadi anak yang berbakti
tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk.
Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan
Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri
kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang
Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di
pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke
hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya.
Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor
pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa
hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya
dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan
jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika
mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di
sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik
perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan
upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan
masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa.
Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik
menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah
seorang gadis yang duduk di atas kursi di atas panggung. Gadis itu
tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung
tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
“Wow, cantik sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang
Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun,
ia tidak menceritakan kepada orangtuanya perihal kedatangannya ke Desa
Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya,
Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus
pada wajah Intan.
Keesokan harinya,
Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke
hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin
menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah
gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya.
Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung.
Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati
masing-masing.
Sejak saat itu,
Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun
tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk
setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah
melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya
memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena
tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan
pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma… maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.
Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma… maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.
Setelah
beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan pun
menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga
suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan
Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk
menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar
Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
Kumbang
Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap
bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu
malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk
menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana kalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
“Iya Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.
Setelah
melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan
mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun baru beberapa langkah
berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat
mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa pasti akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.
Dalam
keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen
pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan
melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba
berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi
sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga.
Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang,
tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun
turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh
dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring
malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian,
sungai itu pun menjelma menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau
itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma
menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut
menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
Demikian
cerita Asal Mula Danau Malawen dari daerah Kalimantan Tengah,
Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat
buruk dari sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua.
Sifat ini tercermin pada perilaku Kumbang Banaung dan Intan yang tidak
mau mendengar dan menuruti nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya,
Tuhan pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor buaya putih.
Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala dan tidak mau
mendengar nasehat merupakan sifat tercela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar